Teguh dalam Iman, Tuntas dalam Iptek, Tegak Menatap Masa Depan
Oleh Imam Suhairi,M.Pd
Sekolah adalah tempat keberlangsungan proses pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak bangsa. Sekolah menjadi patron dan sekaligus barometer kemajuan pendidikan di sebuah negara. Menyitir pernyataan
Maka sangat mungkin, apabila pembangunan di bidang pendidikan memperoleh porsi besar dalam anggaran pembangunan, baik APBN maupun APBD. Tuntutan anggaran 20 % (dua puluh persen) yang diamanatkan undang-undang semakin melegitimasi dunia pendidikan untuk lebih berdaya dalam semua sektor. Beberapa kasus kekinian yang mengemuka terkait dunia pendidikan semakin memperjelas problem dalam dunia pendidikan yang semakin ruwet (untuk tidak disebut kronis).
Optimalisasi Manajemen Berbasis Masyarakat
Ada banyak hal yang harus diperbaiki. Salah satunya adalah manajemen hubungan dengan pihak lain (stake holder) sekolah. Ini yang kadang terlupakan oleh pemangku kebijakan di sekolah-sekolah. Sekolah terlalu bersibuk ria dengan peningkatan sarana pembelajaran, berlomba meningkatkan mutu sekolah dengan berbagai inovasi pendidikan. Sekolah dimana-mana membuat ” performa” hebat agar laku ketika rekrutmen siswa baru.
Sekolah-sekolah lupa, bahwa penyandang keberlangsungan pendidikan bukan hanya SDM yang ada di sekolah, kebijakan pendidikan, sistem dan kultur di sekolah, serta sarana, juga para stakeholder (yang tiada lain masyarakat luar) yang ikut langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terhadap proses pendidikan.
Kadang, kita (sekolah) belum mampu secara mental untuk menerima secara penuh dan terbuka bagi keikutsertaan masyarakat dalam pendidikan. Realitas yang terjadi banyak sekali, kehadiran masyarakat melalui wajah komite sekolah hanya sebagai stempel sekolah untuk mendapatkan legitimasi, baik bagi laporan ke atasan dan publik serta legitimasi untuk mendapatkan proyek. Yang lebih naif adalah keberadaan komite sekolah tidak lagi dipercaya masyarakat (publik) dikarenakan hanya dijadikan ” wadah” untuk meraup keuntungan sesaat atau bahkan komite sekolah yang sejatinya diharapkan melakukan pendampingan bagi proses pendidikan, malah terjebak pada praktik korupsi baru.
Fenomena yang cukup pahit demikian, semakin memperparah keadaan. Lembaga pendidikan dalam prosesnya hanya tidak lebih sebagai perusahaan yang harus untung secara finansial bagi pengelolanya, tak kalah sebagai partai politik bagi arena unjuk kekuatan untuk saling menyingkirkan antar personal di dalamnya demi keuntungan sesaat tadi. Siswa tidak lebih lagi-lagi sebagai objek yang menguntungkan.
Jangan heran apabila sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada keberlangsungan proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Kita lihat saja, mereka akan sangat sensitif untuk protes dan bahkan anarkis apabila terjadi kesalahan sedikit saja dalam proses pendidikan bagi muridnya. Murid dijewer saja, akan muncul teriakan tanda protes dari luar sekolah. Intinya, masyarakat menjauh/seperti tidak punya ikatan emosional dengan sekokah-sekolah. Wajar, kalau masyarakat “ewuh pakewuh” terhadap keberadaan sekolah. Kasus “penyegelan” sekolah oleh warga yang menganggap lahannya adalah miliknya merupakan bukti bahwa masyarakat tidak lagi punya ” sence of belonging” bagi eksistensi sekolah. Ketika tidak punya rasa ikut bertanggung jawab, mereka akan membiarkan apapun yang terjadi di sekolah,
Maka ke depan diperlukan kearifan semua pihak mulai dari pemangku kebijakan di pusat maupun daerah untuk pendidikan untuk bersama-sama membuka ruang bagi masyarakat sekitar sekolah untuk bersama-sama memajukan sekolah.
Elemen masyarakat punya strata pendidikan dan sosial yang cenderung tidak sama itulah justru sangat menguntungkan bagi sekolah untuk bersama-sama melangkah. Bahwa mereka (masyarakat ) adalah bagian terpenting dari iklim sekolah dan keberlajutan kemajuan sekolah. Semoga.
Penulis : Guru SMA Negeri 1 Lenteng & SMA Plus Al-Ahzar PP.Najiyah Guluk-Guluk. Esai dibuat tahun 2012.
Komentar (0)